Oleh: Ipol.
Hari ini teman saya, sebut saja Tia, mendapat teguran keras dari atasannya. Teguran bos nya keren juga, jadi membuat saya banyak berpikir. Atasannya memang orang sangat jujur dan langsung. “Tidak semua hal hitam putih,” katanya.
Keren, karena jarang ada bos seperti itu. Kritiknya selalu dalam dan mengena.
Meskipun dikatakan dalam konteks pekerjaan, kritikannya benar-benar diambil hati oleh Tia. “Kenapa ya gue kayak gitu?” Ujarnya, sambil mengakui bahwa ucapan bos nya ada benarnya. Ia jadi ingat masa kecilnya.
“Memang gue dari kecil udah kayak begitu,” akunya. “Gue ngelihat segalanya hitam putih… ngga nyangka sampai udah gede begini masih kebawa-bawa, sampe ke kerjaan pula.”
Saya menatap mata Tia dalam-dalam, sambil berujar “yah, ngga cuma ke kerjaan aja Ti… efek ke hubungan pertemanan juga.”
Tia menarik nafas. Ada kerut-kerut frustasi timbul di dahinya. “Jujurnya, gue ngga terlalu mikirin selama ini, tapi karena udah menganggu pekerjaan gue, ini jadi masalah,” helanya.
Tia bukan orang jahat. Meskipun mengerti bahwa hal-hal di dunia ini terlalu rumit untuk dapat dikotak-kotakan, namun sulit baginya untuk melihat bahwa tidak semua hal dapat dibilang 100% benar ataupun 100% salah. Setelah ia memberi label pada segala sesuatunya, Tia akan bersikeras bahwa cara pikir-nya ini yang paling benar.
Jujur saja, saya juga melihat banyak orang-orang di sekitar saya seperti itu.
Saya mulai berpikir, kenapa pandangan seperti ini dipelihara, meskipun mungkin tanpa sadar?
Mungkin karena ini cara pikir yang sangat mudah. Lebih melelahkan kalau kita harus bertenggang rasa dengan cara pikir orang lain. Lebih tidak enak kalau harus menerima bahwa ada kemungkinan kalau kita salah atau label yang kita terapkan tidak selalu benar.
Saya jadi terpikir dengan keadaan dunia. Bukankah cara pandang seperti itu yang menimbulkan perpecahan, perlawanan akan perbedaan dan rendahnya rasa solidaritas? Di Indonesia dan di manapun juga, bukankah begitu banyak perpecahan tentang agama, suku dan budaya?
Kalau kita mau jujur dengan diri kita sendiri, sebetulnya bila kita berani menguji isi pikiran kita dengan kenyataan, kita sering sekali bisa salah. Mungkin, kadang kita kurang bergaul sehingga hanya bertemu dengan orang-orang yang sudah kita sortir saja – yaitu orang-orang yang mirip dengan kita, yang status sosialnya sama dengan kita, bahkan yang agamanya pun sama dengan kita. Kalau kita berani menembus lingkaran-lingkaran kecil yang kita buat sendiri ini, mungkin bisa jadi kejutan yang membuka mata hati kita, dan kita akan belajar bahwa tidak semua seperti yang kita pikir. Mungkin, kita juga bisa belajar jadi lebih rendah hati.
Saya jadi ingat satu lagi cerita dari Tia. Tia memang tidak gampang bergaul dengan orang. Kadang-kadang ia sudah punya stereotype sendiri untuk orang-orang tertentu. Sulit sekali untuk merubah cara pandangnya kalau sudah tertanam. Penyebab timbulnya stereotype Tia bisa macam-macam. Bisa karena tidak senang melihat cara orang tertentu berpakaian, atau dari caranya berbicara atau kadang karena terbawa omongan-omongan orang lain. Saya pikir pasti ada juga yang berakar dari alam bawah sadarnya, mungkin dari pengalaman masa lalu, yang membentuk stereotype-stereotype ini. Ada satu orang yang masuk dalam stereotype-nya Tia, seorang emak-emak yang sering minta perhatian. Tia sering menghindar kalau ketemu emak ini. Namun di suatu saat, ia diundang di suatu acara dan harus bertemu dengan si emak. Ternyata emak ini baik sekali dengan Tia. Emak ini selalu anggap Tia anak baik. Tia disambut dengan hangat, disapa dan diajak ngobrol dengan baik. Setelah ketemuan dengan si emak, Tia cerita. “Ternyata, dia ngga seperti yang gue kira ya. Mungkin gue harus mulai membuka hati untuk orang-orang yang gue ngga sukai.” Wah, indah sekali mendengarnya.
Apakah kita punya keberanian dan mau meluangkan waktu untuk melihat kenyataan dan menguji diri kita sendiri? Kalau kita mau berusaha sedikit saja, saya rasa kita akan banyak dapat melihat kebenaran. Kita akan jadi lebih bijaksana.
Dan mungkin, suatu saat kita dapat mengalami kesadaran seperti Tia. Mau lebih membuka hati. Dan kalau kita bisa rajin-rajin membuka hati, mungkin tidak sampai ditegur orang seperti bos nya Tia.
Ujilah. Tidak semuanya hitam putih.