Oleh: Buntoro
Misinfomasi dan disinformasi bukanlah suatu hal yang baru, tapi kedua istilah tersebut menjadi populer akhir-akhir ini terutama dengan semakin merebaknya hoaks atau berita palsu seiring dengan kemajuan teknologi seperti internet dan media sosial. Penyebaran berita palsu itu bukan hal baru, itu telah terjadi sejak dahulu kala. Kita tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial yang cenderung suka berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain baik secara langsung atau tidak langsung, Berita sendiri adalah salah satu bentuk manifestasi dari komunikasi makhluk sosial seperti manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berita adalah cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat.[1] Sebagai makhluk sosial, manusia tentu saja suka mendengar cerita mengenai peristiwa yang menarik atau berita terbaru yang terjadi di dunia ini. Masyarakat Indonesia juga tidak terkecuali. Saya masih ingat antusiasme masyarakat dari sekitar Gunung Kawi, Jawa Timur pada tahun 1980-an saat mereka menunggu televisi umum dinyalakan pada jam 6 malam di lapangan seberang Pesarean Gunung Kawi. Tahukah anda program yang paling banyak menarik perhatian mereka? Program berita nasional pada pukul 7 malam dan tentunya juga ‘Dunia dalam berita’ pada pukul 9 malam. Ingat pada saat itu, program TV yang tersedia di Indonesia tidak banyak tapi hanya satu, yaitu TVRI yang umumnya berisi berita resmi pemerintah Indonesia.
Meskipun misinformasi dan disinformasi seringkali digunakan untuk mengacu kepada hal yang sama, tapi dua istilah tersebut sebenarnya tidak sama jika kita telusuri arti aslinya dari bahasa Inggris. Menurut laman Dictionary.com, arti dari misinfomasi itu adalah “infomasi yang salah yang disebarkan, terlepas dari ada tidaknya maksud untuk menyesatkan.” Sedangkan disinformasi itu sendiri secara umum berarti “penyesatan yang disengaja atau informasi yang mangandung unsur bias (kecenderungan pribadi); narasi atau fakta yang dimanipulasi; propaganda.”[2] Salah satu contoh sejarah dari disinformasi adalah propaganda massal yang dilakukan Adolf Hitler melalui Departmen Pencerahan Masyarakat dan Propaganda yang dipimpin oleh Joseph Goebbels di tahun 1930-1940 an.
Sayangnya, disinformasi juga terkadang menggunakan narasi agama untuk menguatkan fondasi mereka yang rapuh atau membenarkan opini menyesatkan yang mereka bangun. Salah satu contohnya adalah disinformasi tentang nama asli Pattimura atau juga dikenal sebagai Kapitan Pattimura, pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari kepulauan Maluku. Upaya pemutarbalikan fakta sejarah ini mulai terlihat kurang lebih dari dua dasawarsa lalu pada saat konflik berdarah antara kelompok Muslim dan Kristen di Maluku. Saya ingat pernah membaca artikel di laman Suara Hidayatullah yang mengklaim bahwa Pattimura adalah seorang Muslim. Saya
tidak ingat dengan pasti nama apa yang dianggap sebagai nama asli Pattimura itu tapi saya bisa membaca alasan disinformasi itu disebarkan oleh mereka.
Disinformasi tentang Pattimura itu kemungkinan besar berasal dari komunitas Muslim dari luar Maluku yang mau ikut campur di konflik itu karena fanatisme agama secara buta. Berita hoaks itu kemungkinan disebarkan untuk menggalang dukungan kaum Muslim dari Jawa dan Sumatra untuk ikut “berjihad” di Maluku dan bertujuan untuk memperkeruh dan memperparah konflik tersebut. Berita yang banyak tersebar pada awal tahun 2002 itu seakan-akan dibuat untuk menuduh komunitas Kristen atau non-Muslim lain di Maluku sebagai komunitas asing di tanah kelahiran mereka sendiri, padahal sejak dulu kala berbagai komunitas yang berbeda agama telah lama hidup berdampingan dengan damai di Maluku melalui konsep Pella Gandong.
Sejarah resmi di Indonesia mencatat nama asli Pattimura adalah Thomas Matulessy, seorang Kristen dari Saparua, seperti dicatat oleh Pusponegoro & Notosusanto (1992). Nama ini tidak jauh berbeda (sedikit berbeda ejaan) dengan nama Thomas Matulesia yang disebut sebagai Pattimura di catatan Ver Huell, seorang perwira Belanda saat itu. Ver Huell menulis buku “Herinneringen aaneen Reis naar Indie” yang diterbitkan pada pertengahan tahun 1800-an. Dalam buku itu, volume 1, halaman 242-244, Ver Huell menggambarkan Pattimura dengan deskripsi demikian, “Thomas Matulesia adalah seorang pria berumur sekitar 35 tahun, tinggi tapi kurus dan kulitnya sangat gelap, yang tidak kelihatan terlalu pintar. Dia terlahir sebagai orang Saparua, anggota gereja Reformed dan juga penduduk Saparua. Dia sebelumnya adalah sersan mayor di Korps tentara Inggris di Ambon.” Ver Huell juga mencantumkan sketsa wajah Pattimura yang dibuatnya pada tahun 1817 di buku itu.[3]
Bukti lain bahwa nama Pattimura sebenarnya adalah Thomas Matulesia juga bisa dikonfirmasi dari bukti tertulis dari tokoh-tokoh kontemporer (yang juga berasal dari jaman itu) lainnya. Konfirmasi bahwa nama asli Pattimura adalah Thomas Matulesia juga didukung oleh catatan Boelen yang dikutip oleh P. J. M. Noldus dari Universitas Canterbury (1984) dalam thesis yang berjudul “Pemberontakan Pattimura tahun 1817: Penyebabnya, jamannya dan kons
ekuensinya.”[4] Nama Thomas Matulesia juga dipakai untuk Pattimura dalam tulisan Peter van Zonnefeld yang berisi catatan pribadinya saat keluarganya tinggal di Maluku. Tulisan ini dicatat dalam Indische Letteren, Jaargang 10 (Surat-surat dari Hindia, tahun ke- 10) yang dikumpulkan oleh Jan ten Hart (1995).[5]
Noldus (1984) lebih lanjut mengutip berbagai catatan sejarah terkait Pattimura yang menunjukkan iman Kristen Thomas Matulesia. Semasa pemberontakan itu, Thomas Matulesia memberi surat perintah pada tanggal 29 September 1817 kepada umat Kristen di Pulau Seram untuk: (1) menjaga perdamaian dan setia menjalankan ibadah Minggu mereka (2) mengirim anak mereka semua ke sekolah untuk belajar Firman Tuhan sesuai dengan kehendak Tuhan yang kudus. Noldus juga mengutip tulisan Ver Huell yang sempat mengunjungi Pattimura dan para tawanan lain pada tanggal 15 Desember 1817. Dia menulis bahwa Thomas Matulesia masih khusyuk berdoa sambil menyanyikan lagu himne rohani sebelum dia dihukum gantung di dalam kerangkeng besi. Salah satu bukti sejarah lain yang dikutip oleh Noldus adalah salinan dari surat deklarasi hukuman mati buat Pattimura yang menuliskan nama Thomas Matulesia.
Sampai saat ini masih ada saja orang yang masih tidak puas menerima kenyataan bahwa Pattimura adalah sesungguhnya seorang Saparua yang beragama Kristen taat, meskipun telah banyak dikonfirmasi oleh catatan sejarah jaman itu. Fanatisme agama yang berlebihan kemungkinan adalah penyebabnya. Pada tahun 2000-an, pemutarbalikan fakta mengenai agama Kapitan Pattimura pernah dipakai untuk mempertajam konflik antar kelompok di kepulauan Maluku tapi hoax itu sempat hilang setelah konflik usai. Tapi pembelokan sejarah itu masih ada hingga saat ini, Ahmad Mansyur Suryanegara, seorang revisionist yang juga mengaku sebagai seorang sejarawan, ikut andil menyebarkan pembelokan sejarah ini. Sayangnya, sejarah palsu ini banyak dikutip oleh media massa di Indonesia, seperti dalam tulisan Rizqa (2019) di media Republika.[6] Dari pencarian Google saat ini pun, penyebaran disinformasi terkait Pattimura ini masih banyak tersebar di media nasional ataupun media sosial.
Upaya revisi sejarah dengan narasi agama juga dilakukan terhadap tokoh Nasional lainnya seperti ibu Kartini (R. A. Kartini) yang namanya diabadikan melalui hari Kartini di Indonesia setiap tanggal 21 April. Entah darimana asalnya, banyak berita di media massa maupun media sosial yang menampilkan foto Kartini sebagai seorang yang berjilbab dengan narasi seakan-akan Belanda mengaburkan sosok Kartini yang sebenarnya adalah Muslim taat yang berjilbab. Tim Cek Fakta media Kompas (2022) menelusuri asal-usul disinformasi ini dengan teknologi TinEye di media sosial Facebook. Ditemukan bahwa foto R.A. Kartini yang memakai jilbab dan kacamata mulai beredar pada 21 April 2018 yang disebarkan oleh akun Abdurrahman Bangga. Foto ini lalu diunggah oleh akun Facebook lain dengan ditambah klaim bahwa Kartini adalah murid Kyai Saleh Darat. Sejarawan dari Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali mengatakan bahwa foto itu tidak benar, dan merupakan hasil olah digital. [7]
Ada juga revisi sejarah dengan narasi agama yang mengaku bahwa Patih Gajah Mada adalah seorang Muslim. Isu ini berasal dari buku “Fakta Mengejutkan: Majapahit Kerajaan Islam” yang ditulis oleh Herman Sinung Janutama yang banyak disebut sebagai “hoaks” oleh sejarawan nasional. Sri Margana, Kepala Jurusan Sejarah Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, menyatakan bahwa buku itu adalah “sejarah semu” yang dibuat oleh sejarawan amatir yang menggunakan metodologi yang salah. Sri Margana mengutip tulisan David Fischer yang membuat 11 kategori kesalahan metodologi. Menurutnya, dari semua argumentasi yang dibangun di buku tulisan Herman itu, hampir semua mengandung 11 kategori kesalahan yang disebutkan Fischer.[8] Sayangnya, sampai hari ini pun, masih ada orang yang membagikan hoax terkait agama Gajah Mada ini, sehingga Kementrian Komunikasi dan Informasi Indonesia harus menulis bahwa pernyataan ini sebagai hoax di laman resmi mereka.[9]
Sekali lagi, sangatlah disayangkan bahwa masih banyak orang gemar membagi “hoaks” atau berita palsu entah mengapa. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya disinformasi yang beredar, terutama di media sosial. Yang sangat menyedihkan adalah disinformasi yang memutarbalikkan fakta dengan menggunakan narasi agama ini sangat sulit untuk dicegah karena biasanya disebarkan dari mulut ke mulut (terkadang melalui ceramah agama) atau melalui jaringan media sosial yang beredar di kalangan mereka sendiri. Mari kita ingat apa yang terjadi di kepulauan Maluku tahun 2000-an, dimana penyebaran berita palsu berisi narasi agama ini bisa sangat berbahaya jika narasi ini digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengobarkan kebencian antar kelompok agama. Jalinan tali persaudaraan yang telah ada selama ratusan tahun pun bisa dengan mudah terkoyak jika diprovokasi oleh narasi agama. Mariah kita bersama-sama menjaga diri dengan lebih hati-hati dalam mencerna berita yang kita terima terutama dari media sosial atau media lain yang kurang jelas sumbernya, mari lakukan semua demi persatuan dan kesatuan bangsa.
[1] Unknown (n.d.). Berita. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dikutip dari https://kbbi.web.id/berita.html
[2] “Misinformation” vs. “Disinformation”: Get Informed On The Difference (n.d.). Dictionary.com. Retrieved from https://www.dictionary.com/e/misinformation-vs-disinformation-get-informed-on-the-difference/
[3] Huell, V. (1862). Herinneringen aaneen Reis naar Indie, Vol. I pp. 242-244.
[4] Noldus, P. J. M. (1984). The Pattimura revolt of 1817: It’s causes, course and consequences. University of Canterbury. Dikutip dari https://ir.canterbury.ac.nz/handle/10092/7184
[5] Hart, J. T. (1995). Indische Letteren. Jaargang 10. Werkgroep Indisch-Nederlandse Letterkunde, Alphen aan den Rijn. Dikutip dari: https://www.dbnl.org/tekst/_ind004199501_01/_ind004199501_01_0005.php
[6] Rizqa, H. (2019). Kapitan Pattimura, pahlawan Muslim dari Maluku. Republika. Dikutip dari https://m.republika.co.id/berita/pnmmce458/kapitan-pattimura-pahlawan-muslim-dari-maluku
[7] Tim Cek Fakta (18 Apr 2022). Sejak kapan foto Kartini berjilbab dan berkacamata beredar di internet? Kompas. Dikutip dari https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/04/18/091042282/sejak-kapan-foto-kartini-berjilbab-dan-berkacamata-beredar-di-internet?page=all
[8] Rahayu, C. M. (19 Jun 2017). Soal Gaj Ahmada, Sejarawan: Itu Sejarah Semu Oleh Amatir. Detik. Dikutip dari https://news.detik.com/berita/d-3534879/soal-gaj-ahmada-sejarawan-itu-sejarah-semu-oleh-amatir.
[9] Unknown (n.d.). [HOAKS] Mahapatih Gajah Mada ternyata beragama Islam. Kementrian KomInfo. Dikutip dari https://www.kominfo.go.id/content/detail/19933/hoaks-mahapatih-gajah-mada-ternyata-beragama-islam/0/laporan_isu_hoaks