Oleh: Buntoro
Salah satu guru di SMA saya dulu bernama Tavip, suatu nama yang tidak wajar di jaman itu tapi nama itu ternyata memiliki makna yang cukup dalam. Saat saya SMA di Indonesia dulu adalah era Orde Baru rejim Soeharto yang berkuasa setelah menjatuhkan rejim Soekarno setelah kasus G30S/PKI di tahun 1965. Di jaman Soeharto, tidak banyak orang yang tahu apa arti nama itu dan mereka yang tahu pun umumnya memilih menutup mulut. Saya sendiri juga tidak tahu makna istilah Tavip itu sampai bertahun-tahun kemudian. Setelah pemerintahan Soeharto tumbang di tahun 1998 menyusul demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan di banyak kota, pelan-pelan tabir yang menutupi sejarah jaman Soekarno mulai dibuka. Ternyata, Tavip adalah akronim (singkatan) dari “Tahun Vivere Pericoloso” yang juga merupakan judul pidato Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pada peringatan kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1964, kira-kira setahun sebelum peristiwa G30S/PKI yang akhirnya menjatuhkan pemerintahan Soekarno. Istilah itu sendiri berarti “Tahun (saat) hidup penuh bahaya.”
Dalam pidato Tahun Vivere Pericoloso ini, presiden Soekarno menarasikan kehidupan bernegara di Indonesia saat itu seakan sedang berada di kondisi yang berbahaya dengan banyaknya serangan yang dihadapi oleh Revolusi Indonesia dari segala arah, terutama menurutnya dari pihak imperalis dan kolonialis. Dalam pidatonya itu, Soekarno sendiri menyebutkan istilah Revolusi berulangkali, misalnya bagaimana beliau berharap agar Revolusi itu berjalan terus atau agar Revolusi itu dipercepat. Soekarno sendiri bahkan menyebut dirinya sebagai Soekarno Panglima Besar Revolusi.[1] Menariknya judul pidato Soekarno ini seperti menjadi kenyataan tak lama kemudian setelah Soekarno sendiri nantinya dijatuhkan oleh Revolusi rakyat Indonesia yang dimotori oleh pihak militer yang anti Komunis sambil didukung oleh pihak Barat yang anti Soekarno. Tentunya konsep Revolusi yang dimaksudkan oleh Soekarno itu berbeda dengan Revolusi yang terjadi pada tahun 1965 setelah peristiwa G30S/PKI yang menelan banyak korban jiwa di Indonesia itu. Revolusi yang dimaksud oleh Soekarno adalah Revolusi anti imperialisme bukannya Revolusi yang menjatuhkan pemerintahannya sendiri.
Meskipun demikian, judul pidato presiden Soekarno ini seakan-akan menunjukkan firasat Soekarno akan kondisi Indonesia nantinya. Bagi sebagian rakyat di Indonesia, terutama mereka yang dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi sayap (underbouw) PKI, beberapa tahun setelah peristiwa G30S/PKI mungkin benar-benar merupakan perwujudan harafiah dari Tahun Vivere Pericoloso itu sendiri. Setelah G30S/PKI, militer Indonesia memimpin upaya pembersihan PKI ataupun organisasi sayap PKI. Banyak mereka yang dituduh sebagai anggota PKI, yang notabene adalah salah satu partai politik resmi besar di Indonesia saat itu, yang ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Tak sedikit juga yang dibantai oleh militer atau massa anti PKI. PKI sendiri mengklaim memiliki sebanyak 3.5 juta anggota resmi di tahun 1965 ditambah sekitar 23.5 juta anggota dari organisasi massa PKI lainnya seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra),Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) ataupun Pemuda Rakyat. Estimasi moderat oleh Cribb (2003) menyebut korban jiwa saat itu diperkirakan sekitar 500.000 sampai 1 juta manusia, tidak termasuk setidaknya 1 juta anggota PKI yang dilaporkan dipenjarakan.[2]
Walaupun jumlah korban jiwa sebenarnya setelah peristiwa G30S/PKI masih diperdebatkan, terutama karena kurangnya data resmi ataupun sedikitnya jurnalis independen di Indonesia saat itu, perkiraan resmi korban jiwa menurut berbagai analisa berkisar antara 500 ribu sampai 3 juta jiwa. Jujur saja, saya kira angka tersebut tidaklah terlalu mengagetkan, bahkan estimasi tertinggi pun. Jikalau anggota resmi PKI dan semua organisasi underbouw mereka adalah sekitar 27 juta jiwa dan penduduk Indonesia adalah sekitar 107 juta jiwa (menurut pidato presiden Soekarno pada tahun 1964), dapat disimpulkan bahwa jumlah mereka saat itu lebih dari seperempat penduduk Indonesia. Kalaupun data resmi PKI tahun 1965 itu dianggap terlalu berlebihan, anggap saja separuhnya yang benar. Jika 50 persen dari 27 juta jiwa adalah 13.5 juta, maka estimasi tertinggi pun yang mencatat 3 juta korban meninggal ditambah 1 juta yang ditangkap (Total 4 juta korban) hanyalah mencakup 30 persen dari jumlah mereka yang dianggap PKI atau simpatisannya. Perkiraan korban terduga PKI yang berada sekitar 30 persen jumlah anggota resmi ini cukup masuk akal jika kita lihat data resmi korban jiwa terkait penumpasan G30S/PKI di wilayah Banyuwangi seperti dilaporkan oleh Luthfi (2018).
Situasi penumpasan simpatisan PKI di Banyuwangi itu sendiri terbilang unik karena merupakan satu lokasi yang resmi diselidiki oleh pemerintahan Soekarno sebelum beliau digulingkan secara hukum di tahun 1966. Luthfi (2018) mengutip memoir Oei Tjoe Tat yang juga merupakan anggota Komisi Pencari Fakta ini melaporkan bahwa 2000 orang terafiliasi PKI dilaporkan dibunuh berdasarkan laporan resmi tertanggal 27 Desember 1965 itu. Ingat, angka itu hanya mencatat jumlah korban jiwa sampai saat itu (akhir 1965) tetapi pemumpasan anggota PKI atau mereka yang dituduh Komunis terus berlanjut sampai beberapa tahun kemudian jadi tidaklah mengherankan kalau jumlah korban terkait PKI ini bakal naik terus. Data dari laporan rahasia Komando Militer Banyuwangi kepada Komando Resort Militer di Malang tertanggal 20 Agustus 1966 melaporkan 6.008 orang anggota PKI mati sampai saat itu. Luthfi sendiri mengutip data resmi pemerintah yang melaporkan setidaknya ada 50.727 orang tertuduh PKI yang ditahan dari daerah Banyuwangi saat itu. Ia juga membandingkan jumlah mereka yang ditahan dengan data jumlah pemilih PKI yang tercatat dari Pemilihan Umum 1955. Jumlah mereka yang ditahan ini adalah sekitar 30 persen dari angka pemilih PKI di Banyuwangi pada Pemilihan Umum 1955 yaitu 172.249 orang.[3]
Yang menyedihkan adalah banyak dari mereka yang terdaftar sebagai anggota PKI atau organisasi massa PKI yang sebenarnya bukan simpatisan Komunis tetapi orang yang sekedar ikut-ikutan atau mereka yang cuma mau mendapatkan manfaat dari keanggotaan mereka. Contoh pertama adalah seniman yang terkait dengan Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang dituduh sebagai underbouw PKI. Lekra sendiri sebenarnya hanyalah suatu organisasi kebudayaan yang didirikan tahun 1956 dengan visi dan misi awal untuk merangkul seniman agar bergabung dan mewujudkan Republik Indonesia yang demokratis. Ardyamarthanino (2021) yang mengutip Pramoedya Ananta Toer (2000) menulis bahwa karya tulis Lekra sering dimuat di koran Harian Rakjat milik PKI. Sebagai balasannya, Lekra juga memberi dukungan pada setiap acara kebudayaan PKI. Karenanya, Lekra dan PKI saling membutuhkan satu sama lain. Setelah G30S/PKI, semua karya Lekra dilarang oleh pemerintah dan banyak seniman yang terkait dengan Lekra yang ditangkap dan dipenjarakan seperti Pramoedya, tapi tidak sedikit juga yang dibunuh atau tidak diketahui rimbanya setelah peristiwa itu.
Pramoedya Ananta Toer sendiri misalnya terkenal dengan keberaniannya menulis tentang diskriminasi dan tekanan terhadap minoritas WNI keturunan China di Indonesia (Tionghoa) dan karenanya beliau juga dipenjara di tahun 1960 pada jaman Soekarno. Setelah G30S/PKI, Pramoedya kembali ditangkap di tahun 1965 dituduh Komunis karena keterlibatannya dengan Lekra. Pramoedya sendiri akhirnya dikirim ke Pulau Buru pada tahun 1967. Tulisan Pramoedya selama dipenjara itu nantinya dibukukan sebagai “Nyanyian Sunyi Seorang Bisu” (“The Mute’s Soliloquy”) setelah dia dibebaskan pada tahun 1978. Oleh karya itu, Pramoedya sendiri telah berulangkali dicalonkan sebagai kandidat Hadiah Nobel bidang literatur. Beliau juga menerima penghargaan Kebebasan Menulis dari organisasi PEN di tahun 1988 dan Hadiah Fukuoka untuk pencapaian luar biasa oleh orang Asia pada tahun 2000.[4] Selain Pramoedya, seniman Lekra lain seperti Sudharnoto juga ditangkap dan dipenjarakan karena dianggap PKI. Ironisnya banyak yang tidak tahu, termasuk saya sendiri, bahwa Sudharnoto inilah yang mengubah lagu “Garuda Pancasila” yang dianggap sebagai lagu sakral yang tidak boleh diplesetkan di jaman Orde Baru.[5]
Contoh lainnya adalah kaum buruh tani yang terdaftar di Barisan Tani Indonesia (BTI). Untuk menarik dukungan, BTI menawarkan tanah sawah garapan bagi butuh tani anggotanya. Sejak tahun 1950-an, PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) telah mendorong pemerintahan Soekarno untuk melakukan reformasi agraria untuk menyediakan tanah garapan bagi buruh tani yang tidak memiliki lahan sendiri. Pemerintahan Soekarno sendiri mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960 yang dituding oleh sebagian orang sebagai produk Komunis, tapi hal itu dibantah oleh Guru Besar Sejarah Fakultas Sastra UGM, Prof. Dr. Soegijanto Padmo yang mengakui bahwa UUPA itu sebagai produk Fakultas Hukum UGM atas himbauan PBB. Aturan resmi UUPA ini meliputi larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas, larangan kepemilikan tanah absentee, redistribusi tanah yang kelebihan dari batas maksimum dan yang terkena absentee, pengaturan pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan, pengaturan ulang perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan penetapan batas minimun kepemilikan tanah pertanian.[6]
Ada tuduhan bahwa reformasi agraria yang diinginkan oleh BTI bukannya sekedar reformasi birokrasi tapi lebih merupakan upaya paksa merebut harta milik orang kaya untuk dibagi-bagikan kepada kaum buruh tani, tidak jauh berbeda dengan konsep Robin Hood di cerita legenda Barat, setidaknya begitu menurut Aminuddin Kasdi dalam buku Kaum Merah Menjarah. Dalam kenyataannya, reformasi agraria yang dimaksud untuk memberi tanah garapan bagi buruh tani itu memang kurang begitu jalan. Kurniawan (2026) menulis bahwa PKI pada tahun 1964 menuduh dari satu juta hektar tanah yang ditargetkan, hanya 19 ribu hektar yang berhasil didistribusikan kepada buruh tani. Lambatnya reformasi agraria oleh pemerintah Soekarno saat itu digunakan oleh PKI dan BTI untuk melakukan perampasan tanah secara sepihak sejak tahun 1960-an sampai puncaknya pada tahun 1965. Perampasan tanah yang juga dikenal sebagai ‘aksi sefihak’ ini dilaporkan terjadi di banyak daerah, mulai Lampung sampai Timor. Presiden Soekarno juga menyinggung tentang ‘aksi sefihak’ (aksef) dalam pidato “Tahun Vivere Pericoloso” nya pada tahun 1964 dimana beliau mengakui kemacetan dalam upaya reformasi agrarianya.
Detail tentang ‘aksi sefihak’ ini dapat dilihat dari tulisan Janti (2019) misalnya yang menggambarkan aktifitas BTI di Jawa Tengah yang merampas tanah milik tuan tanah lokal melalui Gerajak (Gerakan Rakjat Kelaparan). Kemiskinan dan penderitaan petani pedesaan di wilayah Gunung Kidul, misalnya membuat aksi BTI itu mendapat dukungan dari kaum tani. Tapi aksi yang berawal dari upaya mulia untuk mengurangi penderitaan petani itu kemudian disalahgunakan oleh oknum tani BTI untuk melakukan tindakan yang lebih condong ke arah kriminil seperti merampok atau memeras tuan tanah lokal. PKI sendiri akhirnya mencabut dukungan (moral) mereka untuk Gerajak karena banyaknya kasus kriminil terkait Gerajak, menurut Kuncoro, dozen UNY yang menyelidiki kasus ini.[7] Luthfi (2018) yang meriset kekerasan kemanusiaan di Banyuwangi tahun 1965 juga menyebutkan bahwa aksi sefihak BTI saat itu mengusik kelas pemilik tanah pedesaan dan menyebabkan konflik horisontal, antar-masyarakat, juga konflik vertikal dengan pemegang konsesi atas tanah secara luas dalam bentuk Hak Guna Usaha perkebunan, antara rakyat dan korporasi/negara. Soekarno mungkin tidak salah menyebut sabotase-sabotase sebagai penyebab kemacetan reformasi agraria dalam pidatonya tahun 1964 itu. Salahnya adalah Soekarno gagal mengantisipasi aksi sabotase yang berasal dari pendukungnya sendiri seperti aksi sefihak yang dilakukan oleh kelompok pendukung PKI dan BTI ini.
Kurniawan (2016) lebih lanjut menulis bahwa hasil riset PKI saat itu mengungkapkan bahwa kegagalan UUPA itu disebabkan oleh para tuan-tuan tanah jahat yang banyak bersarang di dalam Majelis Ulama (MU) dan suka mencari perlidungan pada alat-alat kekuasaan sipil dan militer setempat, seperti lurah, koramil, bintara pembina wilayah, hansip, organisasi pertahanan rakyat, dan lainnya. Di antara tuan-tuan tanah itu adalah haji dan kiai yang menyalahgunakan agama untuk memperluas milik tanahnya dan memperhebat penghisapan terhadap kaum tani. Berdasarkan riset ini, PKI dan BTI merebut paksa tanah milik tuan tanah tradisional, termasuk pada haji dan kiai. Aksi sepihak BTI dan PKI ini memicu konflik horizontal dengan golongan Islam yang mereka anggap sebagai setan-setan desa. Konflik ini memicu aksi pembalasan dari golongan Islam, seperti contoh pada 1 Mei 1965 dimana 100 Pemuda dari PII, Pemuda Muhammadiyah dan Pemuda Ansor berkumpul di Dadung untuk menyerang rapat pendukung reformasi agraria. Para petani ditangkap dan dipukuli. Mereka yang kabur dikejar, ditangkap lalu dipukuli dan ditendang kepalanya. Rumah-rumah mereka diserang batu dan dibakar. Korban penganiayaan ini adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang tidak berdaya, berusia antara 30-60 tahun.
Kalau dalam ilmu fisika, hukum Newton ketiga menyatakan bahwa aksi akan menyebabkan reaksi yang sama besarnya (Rumusnya: F = – F), tapi dalam sosiologi perilaku manusia, aksi seringkali menuai reaksi yang berlipat kali ganda. Ungkapan dalam bahasa Inggris “Pembalasan itu lebih manis daripada madu” misalnya merupakan satu kiasan yang menggambarkan sikap manusia umumnya terhadap perlakuan yang mereka terima. Perampasan dan tindak kekerasan yang dilakukan pendukung BTI dan PKI sebelum tahun 1965 itu menuai tindakan balasan yang tidak kalah kejamnya terutama setelah G30S/PKI. Setelah peristiwa G30S/PKI, massa pendukung PKI mulai ditangkap, diburu bahkan dibunuh secara sadis oleh komando dari militer Indonesia yang merupakan pelaku utama pembantaian massal itu. Aksi militer ini dibantu dan didukung oleh kaum Agamis yang anti Komunis seperti Nadhlatul Ulama (NU) dan kelompok Katolik seperti dicatat oleh McGregor (2009). Dengan dukungan pihak militer, massa anti PKI terutama mereka dari golongan Agama membalas tindakan kekerasan PKI dengan aksi yang sama kejamnya atau terkadang jauh lebih sadis.
Meski ada indikasi terbatas yang menunjukkan sebaliknya, seperti tercatat di Banyuwangi di fase awal pembantaian tertuduh PKI, yang dikutip oleh Luthfi (2018), pada umumnya mereka yang dituduh Komunis di Indonesia saat itu adalah “sitting duck” dalam idiom bahasa Inggris, artinya mereka umumnya adalah target yang tidak bisa melawan atau tidak berdaya. Sulchan, salah satu pelaku pembunuhan warga tertuduh Komunis di Jawa Timur yang juga merupakan anggota Banser NU dalam satu wawancara yang dikutip Deutsch (2008) mengakui bagaimana dia dan teman-temannya membunuh tertuduh PKI yang tidak melawan. Kesaksian Sulchan ini juga dibenarkan oleh beberapa pelaku pembunuhan anggota PKI yang diwawancarai saat itu.[8] Dari sudut pandang korban, Pipit Rochijat (1985) yang dikutip oleh McGregor (2009) memberikan gambaran betapa sadisnya pembantaian mereka yang dituduh PKI di daerah Kediri, Jawa Timur. Gambaran yang diberikan Rochijat sangatlah “graphic” (berisi gambaran realistis yang sangat mengerikan tentang aksi kekerasan) tetapi penting karena sedikitnya saksi mata hidup yang mau bersaksi tentang hal ini. Rochijat sendiri saat itu adalah anggota organisasi pemuda terkait PNI (Bukan PKI) tapi nantinya dia juga dikejar oleh militer.
Pihak militer yang memimpin penumpasan PKI ini nantinya tidak hanya membatasi target penumpasan mereka sebatas pada kelompok yang dianggap Komunis ataupun terlibat langsung dengan PKI, tetapi juga mencakup semua yang dianggap simpati terhadap ideologi Komunisme. Perluasan target itu nantinya mencakup para pendukung mantan presiden Soekarno secara umum, termasuk simpatisan PNI. PNI sendiri adalah partai presiden Soekarno saat itu. Nantinya di jaman Orde Baru Soeharto, mantan presiden Soekarno sendiri dianggap sebagai penganut Komunisme atau setidaknya simpatisan Komunis. Tindakan serupa juga dilakukan oleh organisasi massa berbasis agama yang terlibat dalam penumpasan simpatisan PKI. Robert Hefner (1990) yang menyelidiki pembantaian di daerah dataran tinggi di Pasuruan, Jawa Timur mencatat bahwa Ansor tidak hanya menarget PKI tetapi juga PNI yang lebih terbuka dengan praktek ritual Hindu-Buddha karenanya mereka dianggap antagonistik terhadap Islam. Selain Rochijat, McGregor juga mengutip beberapa kesaksian dari saksi mata hidup lainnya, yang kebanyakan hanya didapatkan setelah kejatuhan rejim Soeharto. Kesaksian dari mereka itu juga menggambarkan kondisi tragis serupa yang terjadi di banyak daerah lain.
Mengapa masyarakat Indonesia, terutama suku Jawa dan Bali yang dulunya terkenal ramah dan terbuka tiba-tiba berubah menjadi beringas dan brutal saat penumpasan pendukung Komunisme di Indonesia saat itu? Ada banyak hipotesa yang diberikan oleh pengamat politik di Indonesia tapi saya cenderung sependapat dengan analisa Cribb (2001) menganggap pembantaian itu terjadi karena perintah pihak militer, tetapi juga dipicu oleh masalah ekonomi dan ketegangan politik.[9] Selain itu, saya juga menganggap keberingasan rakyat Indonesia saat itu sangatlah dipengaruhi oleh kuatnya pengaruh propaganda baik oleh kelompok agama, militer Indonesia maupun pemerintah Indonesia sendiri yang menggambarkan Kelompok Komunis sebagai kelompok anti agama yang biadab. Golongan agama, baik Islam ataupun Katolik yang bekerjasama dengan militer Indonesia saat itu, juga menganggap kelompok Komunis sebagai musuh bersama karena mereka dianggap anti agama. Di pihak lain, pemerintah dan militer Indonesia, untuk membenarkan pembantaian mereka, juga gencar menarasikan kaum Komunis sebagai kelompok tidak ber-Tuhan yang kejam, yang tidak berperikemanusiaan yang patut dilenyapkan dari bumi Indonesia melalui media massa resmi yang saat itu semua dikontrol oleh pemerintah.
Bagi kita yang pernah bersekolah di jaman Orde Baru, kita pasti pernah melihat film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” yang merupakan film yang wajib ditonton oleh semua murid Sekolah Dasar di Indonesia saat itu. Di film arahan Arifin C. Noer yang nantinya terlihat sebagai film propaganda bikinan rejim Soeharto itu, pendukung Komunisme digambarkan sebagai kelompok yang sangat sadis dalam menganiaya para jenderal TNI saat itu. Saya kira banyak dari kita yang dulu seratus persen percaya akan gambaran peristiwa itu, tapi sedihnya kita baru dibukakan mata terhadap kenyataan yang sesungguhnya terjadi hanya setelah jatuhnya rejim Soeharto. Misalnya, detail sadis yang menggambarkan bagaimana para jenderal itu disiksa sebelum ditembak itu ternyata tidak benar menurut Prof. Dr. Arif Budianto yang terlibat langsung dalam visum para jenderal korban kekerasan PKI itu. Majalah Tempo (2015) mengutip kesaksian Arif yang mengakui “memang pada semua tubuh jenderal ditemukan bekas tembakan dari jarak dekat. Namun penyiksaan dengan mencungkil bola mata, menurut para dokter, tidak ada. Mereka yakin 100 persen kondisi mata para korban terjadi karena pembusukan.” Kesaksian Arif itu juga dikuatkan oleh salinan asli laporan visum et repertum yang diperoleh Tempo pada tahun 2002.[10]
Ada satu kelompok masyarakat yang juga menjadi korban dari operasi penumpasan Komunisme di Indonesia yang jarang diekspos oleh media yaitu kelompok WNI keturunan China (Tionghoa). McGregor (2009) misalnya menulis bahwa kelompok minoritas Tionghoa tidak ditarget secara khusus dalam penumpasan PKI ini kecuali di beberapa daerah seperti di Kalimantan seperti ditulis Cribb (2003). Saya kira McGregor khilaf dalam hal ini karena sebenarnya WNI keturunan China di Indonesia jelas-jelas juga merupakan korban terkait penumpasan simpatisan PKI ini (secara langsung atau tidak langsung) meskipun mereka tidak ditarget secara spesifik. Selain pembantaian etnis Tionghoa di Kalimantan oleh kelompok Dayak yang dikobarkan oleh pihak militer seperti dikutip oleh McGregor itu, memang benar bahwa tidak ada pembantaian massal terhadap kaum Tionghoa Indonesia selain pembantaian yang menarget kaum Tionghoa yang dianggap terlibat langsung di PKI atau organisasi massa mereka. Meskipun demikian, kenyataan yang ada di masyarakat membuktikan bahwa banyak terjadi tindakan kekerasan, intimidasi atau perampasan harta milik kaum Tionghoa baik oleh kelompok masyarakat ataupun oleh militer.
Banyak aturan yang dikeluarkan oleh rejim Soeharto setelah G30S/PKI yang secara langsung menarget kaum minoritas keturunan China yang dianggap secara “fait accompli” terkait dengan PKI meskipun tidak semua kaum minoritas Tionghoa adalah pendukung PKI atau penganut paham Komunisme. Tidak hanya itu saja, hak-hak sipil dan kewarganegaraan kaum minoritas Tionghoa di Indonesia juga dikebiri setelah peristiwa G30S/PKI itu. Salah satu contohnya adalah pembungkaman paksa kehidupan dan aktifitas sosial budaya kaum Tionghoa di Indonesia dengan larangan penggunaan bahasa Mandarin atau bahkan larangan merayakan tradisi budaya mereka seperti larangan perayaan tahun baru Imlek misalnya. Di banyak daerah, penggunaan nama yang berbau Tionghoa pun diharamkan. Di banyak sekolah negeri di Indonesia, yang dimiliki oleh negara, misalnya, aturan pelarangan penggunaan nama berbau Tionghoa bagi muridnya terlihat nyata. Murid yang memiliki nama berbau Tionghoa tidak boleh sekolah kalau tidak menggunakan nama Indonesia, kasus ini terjadi di banyak daerah di Jawa Timur. Diskriminasi ini umumnya bukan merupakan aturan tertulis pemerintah, melainkan aturan tidak tertulis yang tidak jelas asal-usulnya.
Yang lebih menyedihkan adalah perlakuan negara dan masyarakat Indonesia umumnya terhadap kaum minoritas Tionghoa di Indonesia pasca peristiwa G30S/PKI itu. Meskipun WNI keturunan China secara resmi masih dianggap sebagai WNI tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa mereka seringkali dianggap sebagai warga negara kelas dua oleh negara. Perlakuan yang berbeda seringkali diterapkan bagi WNI keturunan China seperti misalnya keharusan memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), suatu aturan anomali yang hanya berlaku bagi kaum minoritas Tionghoa. WNI keturunan Tionghoa seringkali dipersulit saat mengurus surat resmi di Lembaga pemerintah, mulai dari Kartu Tanda Penduduk (KTP) sampai surat kematian. Dhani A. (2016) juga mengungkit Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 yang menyulut identifikasi rasial dan segregasi identitas dengan pemaksaan pemakaian istilah “Cina” bagi kaum WNI Keturunan China. Istilah “Cina” memiliki konotasi negatif jika dibandingkan dengan “Tionghoa” yang digunakan di era Soekarno.[11] Penggunaan istilah “Cina” ini sepertinya adalah upaya pemerintah Indonesia jaman Soeharto untuk memecah belah masyarakat. Freedman, A. (2010) menulis bahwa di satu pihak, Soeharto memaksa WNI keturunan China (Tionghoa) untuk membaur, tetapi di pihak lain pemerintahan Orde Baru juga sengaja membedakan mereka sebagai kelompok bukan pribumi. [12]
Aturan pemerintahan Soeharto yang melarang penggunaan bahasa Mandarin di Indonesia setelah peristiwa G30S/PKI, meskipun tidak semua sekolah Tionghoa berkiblat ke RRC pada saat itu, juga menyebabkan semua lembaga pendidikan milik kaum minoritas Tionghoa di Indonesia ditutup paksa dan disita atau diambil alih. Universitas Res Publica misalnya yang terkait Baperki nantinya diserang oleh massa anti PKI yang didukung militer dan diambil alih oleh Yayasan yang dipimpin oleh orang-orang LPKB dibantu oleh Jenderal Nasution. Universitas ini juga nantinya menjadi Universitas Trisakti.[13] Banyak sekolah negeri di Jakarta, seperti SMAN 19 misalnya yang dulunya adalah sekolah milik kaum minoritas Tionghoa. Sekolah itu aslinya adalah milik Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang dibangun pada 17 Maret 1900, sekolah itu juga akhirnya disita oleh negara setelah peristiwa G30S/PKI itu.[14] Ada beberapa sekolah yang diambil alih oleh gereja Katolik atau Yayasan Kristen di beberapa kota besar, tapi kebanyakan sekolah milik WNI keturunan China disita sepihak oleh negara, pihak militer atau bahkan diambil alih oleh kelompok masyarakat secara paksa terutama di kota-kota kecil.
Tidak hanya sekolah milik minoritas Tionghoa yang dirampas, tidak sedikit juga fasilitas sosial lainnya milik warga keturunan Tionghoa di Indonesia yang dikuasai oleh negara atau oleh kelompok masyarakat secara paksa, mulai dari tanah dan bangunan milik pribadi atau kelompok WNI keturunan Tionghoa yang dikuasai oleh negara atau kelompok masyarakat sampai termasuk “Rumah masa depan” mereka alias tanah dan kompleks pemakaman WNI keturunan Tionghoa yang dikuasai paksa atau diratakan oleh negara atau kelompok masyarakat. Lokalisasi Dolly di daerah Putat Jaya, Surabaya misalnya dulunya dibangun di atas tanah pemakaman milik warga minoritas keturunan China yang kemudian dihancur-ratakan. Tidak banyak yang tahu tentang ini sebelumnya, hal itupun baru terungkap di media massa awal tahun 2022.[15] Kantor Kecamatan Bangil juga dibangun di atas tanah juga dikuasai secara sepihak oleh negara. Tanah itu dulunya merupakan tanah pemakaman kaum minoritas Tionghoa di Bangil. Saya ingat akan itu karena saya mengetahui dan melihat dengan mata kepala sendiri akan keberadaan kompleks pemakaman itu sebelum diratakan.
Banyak juga harta milik pribadi kaum minoritas Tionghoa yang dirampas atau dikuasai secara sepihak oleh negara, pihak militer ataupun kelompok masyarakat. Dalam satu wawancara, Munib Habib, seorang pemimpin gerakan pelajar anti Komunis seperti dikutip Deutsch (2008) mengakui bagaimana mereka menjarah dan merampas rumah-rumah milik kaum minoritas keturunan China di Indonesia. Kaum minoritas Tionghoa, terutama mereka yang tinggal di kota kecil seringkali hanya bisa pasrah. Banyak kaum minoritas Tionghoa yang sempat mengalami jaman itu yang sampai saat ini menolak berbicara tentang situasi saat itu. Tidak banyak catatan resmi dari pemerintah Indonesia terkait perampasan hak milik WNI keturunan Tionghoa ini tapi itu tidaklah terlalu mengherankan terutama karena sedikitnya saksi mata yang berani bersaksi dalam masalah ini dan juga kurangnya kemauan politik dari pihak pemerintah, militer ataupun mereka yang terkait organisasi berbasis keagamaan yang banyak terlibat dalam perampasan hak milik WNI keturunan Tionghoa dalam membereskan masalah ini.
Jangankan kasus ketidakadilan terhadap WNI keturunan China, yang seringkali masih dianggap oleh sebagian penduduk Indonesia sebagai orang asing di bumi Indonesia, sejarah yang melibatkan mantan presiden pertama Indonesia, Soekarno, yang dihapus, dikaburkan atau direvisi total oleh Orde Baru Soeharto pun belum semuanya terungkap kebenarannya sampai saat ini (termasuk kontroversi tentang penyebab kematian presiden Soekarno), meskipun saat ini sudah sekitar 25 tahun setelah kejatuhan rejim Soeharto sendiri. Masih banyak lagi contoh ketidakadilan yang diterima oleh kaum minoritas Tionghoa di Indonesia terkait kejahatan kemanusiaan buatan manusia pasca peristiwa G30S/PKI itu, mulai dari perampasan hak milik atau hak sipil mereka sebagai warga negara Indonesia sampai dengan tekanan trauma psikologis yang dialami oleh WNI minoritas Tionghoa yang kebanyakan sampai saat ini memilih berdiam diri dan menjadi saksi bisu kejahatan kemanusiaan tersebut.
Kalau tindakan kekerasan dan perampasan hak milik, penghilangan hak sipil dan kewarganegaraan atau timpangnya perlakuan negara terhadap kaum minoritas Tionghoa itu masih dianggap belum cukup untuk menunjukkan persekusi terhadap kelompok minoritas Tionghoa, masih banyak lagi persekusi langsung atau tidak langsung terhadap kaum minoritas Tionghoa yang tidak tercatat secara resmi dalam buku sejarah. Salah satu yang cukup terlihat jelas adalah perubahan perlakuan masyarakat umum terhadap kaum minoritas Tionghoa setelah peristiwa G30S/PKI itu. Kaum Tionghoa, yang sebelumnya sudah lumayan membaur bahkan seringkali cukup disegani di masyarakat pada jaman pemerintahan Soekarno, tiba-tiba dilihat dengan pandangan mata penuh kecurigaan. Tidak sedikit dari mereka yang dianggap atau dituduh sebagai simpatisan PKI meski tanpa bukti apapun.
Kecurigaan atau kebencian masyarakat terhadap kaum minoritas Tionghoa sejak peristiwa G30S/PKI ini bervariasi dari sekedar pandangan penuh curiga atau kebencian sampai kepada pelecehan verbal atau kekerasan fisik. Meskipun kebencian terhadap kaum minoritas Tionghoa sudah ada di Indonesia sejak jaman Belanda seperti dikutip sekilas oleh Dhani (2016) tapi kebencian terhadap kaum minoritas makin diperkuat dan dipertajam dengan dukungan resmi negara sejak jaman Orde Baru Soeharto. Tuduhan atau asumsi ini kemungkinan besar disebabkan oleh propaganda pemerintahan Orde Baru yang menuduh kaum Tionghoa sebagai simpatisan Komunis atau mata-mata RRC terkait keterlibatan RRC dalam Revolusi PKI yang gagal itu. Secara gampangnya, kaum minoritas Tionghoa di Indonesia secara tidak langsung dianggap “Komunis” secara “paksa” karena hubungan sosial budaya mereka dengan negara RRC yang berfaham Komunis, alias “guilty by association” kalau dalam bahasa Inggrisnya.
Dari sedikit fakta yang terungkap sampai saat ini saja pun, saya kira kita bisa melihat betapa ganasnya manusia Indonesia jaman itu yang tidak segan-segan membunuh dan menyiksa sesama bangsa sendiri, hanya karena mereka yang dianggap atau dituduh Komunis saat itu. Gambaran kekejaman PKI yang ada di film propaganda “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” pun dapat dianggap “ringan” dibandingkan kekejaman yang dilakukan massa anti PKI terhadap mereka yang dituduh PKI seperti dilaporkan oleh kesaksian Pipit Rochijat atau kesaksian lainnya yang dikutip oleh McGregor (2009). Karena itu tidaklah mengherankan jika banyak orang yang menganggap tahun-tahun setelah peristiwa G30S/PKI 1965 itu sebagai “Tahun yang penuh bahaya” atau “Tahun Vivere Pericoloso.”
Judul pidato presiden Soekarno tahun 1964 ini sendiri menjadi inspirasi bagi novel berjudul “The Year of Living Dangerously” oleh novelist Australia, C. J. Koch di tahun 1978 yang adalah cerita fiksi tentang kisah cinta jurnalis asing dengan staff Kedutaan Besar Inggris di Jakarta yang memberi gambaran sekilas tentang situasi Indonesia di jaman setelah G30S/PKI. Novel ini nantinya juga dijadikan film berjudul yang sama yang dibintangi oleh Mel Gibson pada tahun 1982. Film ini sempat dilarang beredar di Indonesia pada jaman Orde Baru karena dianggap subversif oleh rejim Soeharto saat itu. Saya kira kita yang tidak pernah mengalami sendiri jaman tahun Vivere Pericoloso itu tidak bakal mengerti berapa berbahayanya situasi jaman itu. Sampai saat ini, orang tua saya yang mengalami sendiri jaman Tavip itu masih menolak bercerita tentang situasi saat itu. Nenek saya dulu pun hanya menitikkan air mata saat ditanya tentang situasi jaman itu.
Jujur saja, saya menulis ini bukan karena saya mau membangkitkan isu PKI kembali ataupun karena saya membela atau simpati terhadap ideologi Komunisme. Saya sendiri tidak setuju dengan faham/ideologi Komunisme. Alasan saya mengangkat kembali penderitaan sebagian rakyat Indonesia setelah peristiwa G30S/PKI itu sendiri adalah supaya kita tidak melupakan kenyataan sejarah, betapapun pahitnya. Di balik narasi nasionalis (dan Agamis) yang dibawa oleh penumpasan Komunisme di Indonesia saat itu, terdapat banyak indikasi bahwa tindakan mereka juga dipengaruhi oleh motif pribadi atau kelompok. Kejahatan kemanusiaan besar-besaran yang dimotori oleh pihak militer dengan dukungan kaum Agamis itu tidaklah dapat dibenarkan secara hukum manusia ataupun menurut hukum Illahi.
Meski peristiwa ini tidak begitu terkenal di dunia, tidak seperti tragedi kemanusiaan Holocaust yang dilakukan tentara Jerman di benua Eropa pada jaman perang dunia kedua, kejahatan kemanusiaan besar yang terjadi di Indonesia saat itu tidak kalah sadis. Dengan belajar dari pengalaman sejarah kelam masa lalu seperti ini, saya berharap kita semua bisa belajar mencari kebenaran yang sesungguhnya dan juga hikmah dari tragedi tersebut. Setelah mengerti kebenaran dan hikmah yang ada, marilah kita berjuang bersama-sama supaya tragedi itu tidak terulang lagi, baik di Indonesia ataupun di manapun juga.
Saat ini pun, kejahatan kemanusiaan masih terjadi di muka bumi ini, seperti tragedi kemanusiaan yang terjadi di Bucha, Ukraina baru-baru ini karena kebiadaban tentara Rusia dan milisi bersenjata mereka yang semena-mena membantai penduduk sipil di Ukraina. Pembantaian kaum sipil di Ukraina saat ini mengingatkan saya kembali akan pembantaian kaum sipil yang dituduh sebagai Komunis di Indonesia pasca peristiwa G30S/PKI itu. Saat kita dihadapkan pada tragedi kemanusiaan seperti saat ini, marilah kita belajar kembali sejarah supaya kita tidak mengulang kembali tragedi kemanusiaan di masa lalu.
Seiring banyaknya “berita alternatif” dan disinformasi di tragedi kemanusiaan di Ukraina ini, marilah kita belajar lebih berhati-hati dalam mencerna informasi yang kita terima supaya kita tidak dibutakan oleh informasi sepihak atau propaganda yang terkesan mulia tapi sebenarnya berdasarkan kebohongan buatan manusia. Jujur saja, banyak teman sekolah saya dulu di Indonesia, yang terpengaruh oleh kuatnya propaganda pro Rusia atau China, yang sampai hari ini masih menolak mengakui adanya kejahatan kemanusiaan di Ukraina ini. Sesuatu yang menyedihkan tapi tidaklah mengherankan, karena banyak warga negara Indonesia pelaku pembantaian kaum Komunis di tahun 1965 pun yang sampai hari ini masih ngotot menyatakan bahwa tindakan mereka itu tidak salah, bahkan dibenarkan oleh agama, setidaknya begitu pengakuan mereka yang diwawancarai oleh Deutsch (2008) seperti dikutip McGregor (2009).
[1] Soekarno (1964). Tahun Vivere Pericoloso. Wikisource. Dikutip dari https://id.m.wikisource.org/wiki/Tahun_%22Vivere_Pericoloso%22
[2] McGregor, K.E. (2009). The Indonesian killings of 1965-1966. SciencesPo. Dikutip dari https://www.sciencespo.fr/mass-violence-war-massacre-resistance/fr/document/indonesian-killings-1965-1966.html
[3] Luthfi, A.N. (2018). Kekerasan kemanusiaan dan perampasan tanah paska 1965 di Banyuwangi, Jawa Timur. Archipel. Dikutip dari https://journals.openedition.org/archipel/624
[4] Unknown (6 Feb 2017). Pramoedya Ananta Toer: Why you should know him. Al Jazeera. Dikutip dari https://www.aljazeera.com/features/2017/2/6/pramoedya-ananta-toer-why-you-should-know-him
[5] Matanasi, P. (12 Jan 2000). Kisah Sudharnoto: Seniman Lekra, penggubah lagu Garuda Pancasila. Tirto. Dikutip dari https://tirto.id/kisah-sudharnoto-seniman-lekra-penggubah-lagu-garuda-pancasila-fJMy
[6] Kurniawan, H. (12 Sep 2016). Landreform dan Aksi Sepihak BTI Mengganyang Setan Desa. SindoNews. Dikutip dari
[7] Janti, N. (2019). Jeritan petani di tanah sendiri. Historia. Dikutip dari https://historia.id/politik/articles/jeritan-petani-di-tanah-sendiri-vx2K8
[8] Deutsch, A. (2008). Indonesians recount roles in massacre. Associated Press. Dikutip dari https://usatoday30.usatoday.com/news/world/2008-11-15-2183917306_x.htm
[9] Cribb, R. (3 Jun 2001). Genocide in Indonesia, 1965-1966», Journal of Genocide Research, p. 219-239.
[10] Evan (30 Sep 2015). Benarkah ada penyiksaan jenderal korban G30S 1965? Tempo. Dikutip dari https://nasional.tempo.co/read/705271/benarkah-ada-penyiksaan-jenderal-korban-g30s-1965
[11] Dhani, A. (1 Sep 2016). Sejarah kebencian terhadap Etnis Tionghoa. Tirto. Dikutip dari https://tirto.id/sejarah-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-bFLp
[12] Freedman, A. (2003) Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia, Asian Ethnicity, 4:3, 439-452, DOI: 10.1080/1343900032000117259
[13] Berita Respublika (13 Jul 2018). Kampus Merah Res Publica Sumbangsih Siauw Giok Tjhan di Bidang Pendidikan. Berita Respublika. Dikutip dari https://www.respublika.id/2018/07/07/kampus-merah-universitas-res-publica-sumbangsih-siauw-giok-tjhan-di-bidang-pendidikan/
[14] Itsnaini, F. M. (6 Feb 2022). SMAN 19 Jakarta, Perjalanan THHK dan Etnis Tionghoa dalam Pendidikan. Kompas. Dikutip dari https://travel.kompas.com/read/2022/02/06/124326627/sman-19-jakarta-perjalanan-thhk-dan-etnis-tionghoa-dalam-pendidikan?page=all
[15] Tim Detik Jatim (6 Mar 2022). Kisah berdirinya lokalisasi Dolly di atas makan Cina. Majalah Detik. Dikutip dari https://www.detik.com/jatim/budaya/d-5970516/kisah-berdirinya-lokalisasi-dolly-di-atas-makam-cina